JAKARTA – Pelaksanaan Pilkada langsung kini sedang dalam proses kajian di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Salah satu poin yang disorot adalah banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi karena mahalnya ongkos politik.
Dari data Kemendagri ada sekitar 300 lebih kepala daerah yang bermasalah secara hukum. Terutama kasus korupsi.
“Ini faktanya. Sejak ada pilkada langsung, 300 sekian kepala daerah bermasalah secara hukum. “Hanya satu atau dua kasus Bupati karena faktor personal. Bukan sistem yang membuat murah. Membangun citra diri perlu ongkos. Ngumpulkan makan warga dan segala macam itu perlu duit semua. Belum uang saksinya,” kata Kapuspen Kemendagri, Bahtiar dikutip dari fin.co.id, Kamis (21/11/2019).
Dia menyebut kepala daerah yang maju tanpa biaya tinggi hanya sedikit. Selain biaya politik sangat besar, pilkada langsung juga berpotensi melanggar hukum. Tidak sedikit kepala daerah yang memberikan timbal baik pada pihak-pihak yang membantunya dalam pilkada. “Yang menyiapkan kepala daerah itu adalah pengusaha. Dia punya kepentingan di daerah tersebut. Ada juga gabungan pemodal,” paparnya.
Terkait pilkada asimetris yang diusulkan oleh Mendagri Tito Karnavian, menurut Bahtiar, hal itu sudah terjadi di DIY Yogyakarta dan DKI Jakarta. Dia pun menyoroti dana pilkada yang bisa digunakan untuk hal bermanfaat lainnya. Saat ini, lanjutnya, kajian masih dilakukan. Kajian tersebut dipimpin oleh Dirjen Otonomi Daerah.
Sementara itu, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana menyatakan sistem pilkada merupakan pilihan dalam politik hukum. Yang perlu digaris bawahi, apapun pilihannya harus dipegang teguh prinsip-prinsip penegakan hukumnya. Yakni jujur, adil, tanpa politik uang, dan tidak ada praktik koruptif.
Denny menyebut masyarakat sepertinya masih menaruh harapan besar terhadap pilkada langsung. “Saya baca keinginan masyarakat saat ini tetap ingin pilkada langsung. Sebab, ada partisipasi masyarakat,” ujar Denny di Jakarta, Kamis (21/11).
Dia setuju sistem pilkada langsung harus dibenahi. Terutama pada sisi anggaran. Tujuannya agar tidak terlalu mahal serta meminimalkan praktik koruptif. “Yang terpenting adalah praktik politik. Ini yang harus disikapi dengan perbaikan serius dan mendasar,” imbuhnya.