SAWAHLUNTO – Pertambangan batu bara membuat Sawahlunto di Sumatera Barat berkembang menjadi kota dan bagian dari sejarah pertambangan di daerah itu kini diakui sebagai warisan budaya dunia.
Kawasan tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto pada 6 Juli 2019 ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Pemerintah Kolonial Belanda yang menemukan dan kemudian mengusahakan pertambangan batu bara di Sawahlunto membangun infrastruktur daerah tersebut dengan tenaga kerja paksa atau orang rantai dan tenaga kontrak dari berbagai suku bangsa.
Daerah yang berada di area Bukit Barisan itu kemudian tumbuh dan berkembang, dan diresmikan menjadi kota pada 1 Desember 1888. Hingga kini tanggal 1 Desember diperingati sebagai hari lahir kota.
Tambang Ombilin di Sawahlunto sudah beberapa kali berganti pemilik. Tambang yang semula dikuasai oleh Belanda berpindah ke tangan Jepang sejak 1942 sampai 1945. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, tambang di kota berjuluk “Little Dutch” atau Belanda Kecil itu berada di bawah kepemimpinan administratif Indonesia.
Semula tambang batu bara Ombilin berada di bawah Direktorat Pertambangan, namun kemudian tanggung jawab pengelolaannya dipegang oleh badan usaha milik negara Bukit Asam.
Kegiatan pertambangan sudah diakhiri beberapa tahun lalu. Sawahlunto kini bertransformasi menjadi kota tua yang menawarkan wisata sejarah dengan berbagai bangunan era kolonial.
Kantor PT Bukit Asam yang dibangun pada 1916 serta gedung Museum Gudang Ransum dan Museum Kereta Api Sawahlunto menyuguhkan informasi seputar cikal bakal dan sejarah perkembangan kota pemilik tambang batu bara tertua di Asia Tenggara itu.
Selain itu, ada Lubang Mbah Suro, bekas tambang batu bara Belanda yang namanya diambil dari nama mandor pekerja paksa zaman Belanda yang konon dikenal sebagai Mbah Suro.
Sawahlunto juga punya beberapa situs yang memperlihatkan kecanggihan teknologi pertambangan kolonial, termasuk di antaranya silo tempat penyimpanan batu bara yang berada tidak jauh dari Museum Kereta Api Sawahlunto.
Menurut staf Dinas Kebudayaan, Peninggalan Bersejarah, dan Permuseuman Kota Sawahlunto Dedi Yolson, kedekatan antara silo dan museum itu bukan tanpa alasan.