“Karena regulasi-regulasi ketenagakerjaan seringkali dijadikan alasan bagi para pelaku usaha dan pembuat regulasi atas terhambatnya investasi di Indonesia. Namun hal ini tak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan hak-hak pekerja,” katanya.
“Sekarang ini semua masih menerka-nerka omnibus law ini seperti apa, kontennya seperti apa nanti dalam undang-undang. Hal-hal apa saja dalam UU tersebut yang akan meniadakan UU lain. Tentunya hal ini membutuhkan partisipasi publik bukan saja mendengarkan para ahli, tetapi juga masyarakat yang terkena dampak, misalnya pengusaha-pengusaha kecil,” sambungnya.
Namun yang pasti, tegas Heri, konsep omnibus law dalam mekanisme pembuatannya harus mengikuti prosedur yang diatur dalam UU 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga pengesahaan.
“Walaupun belum pasti, tetapi UU Cipta Lapangan Kerja tetap dikhawatirkan akan merugikan hak-hak pekerja. Sebab, dalam pidato Jokowi, kesejahteraan pekerja itu sendiri tidak disinggung. Jokowi lebih berfokus pada menciptakan SDM yang terampil dan bisa bekerja keras. Pembangunan SDM akan menjadi prioritas utama yang tidak bisa diraih dengan cara-cara lama,” paparnya.
Heri berharap, Indonesia sebagai negara demokratis perlu mencari titik keseimbangan. Artinya,demand dari para serikat buruh dan aktivis juga perlu jadi pertimbangan utama, agar perekonomian Indonesia dapat berkembang tanpa merugikan pekerja.(hyt)