“Kami berharap ada aksi nyata khusus bagi kerusakan ekosistem di Muaragembong. Bukan tidak menginginkan pembangunan, hanya saja setiap sentuhan pembangunan itu tidak dibarengi dengan upaya pelestarian lingkungan,” katanya.
Menurut Firman seluruh wilayah Muaragembong seluas 11.000 hektare sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung namun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 475 Tahun 2005, separuh dari kawasan Muaragembong itu dibuka untuk hutan produksi.
“Sayangnya setelah SK itu, tidak ada pengawasan. Jadi batasan hutan lindung yang mana, terus hutan produksi yang mana itu tidak jelas. Yang ada pembukaan lahan terus-terusan menjadi tambak,” kata dia.
Pembukaan tambak itu bahkan meluas hingga mendekati bibir pantai. Alhasil kondisi itu membuat Muaragembong kerap dilanda abrasi. Rusaknya kondisi alam Muaragembong pun dapat terlihat dari makin berkurangnya populasi lutung jawa.
“Semula jumlah lutung jawa mencapai ratusan namun kini hanya berjumlah sekitar 40 ekor saja,” kata Firman.(ant/hyt)