JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa kecanggihan teknologi tidak semata dilihat sebagai ancaman tapi justru memberikan peluang penerimaan pajak khususnya dari sektor informal seperti wirausaha digital.
“Sebagai Menteri Keuangan, itu harus dilihat sebagai sebuah keuntungan,” katanya ketika menjadi pembicara dalam Dialog Global 2019 Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Menurut Menkeu, ada nilai ekonomi yang didapatkan dari sektor informal yakni para pelaku usaha individu tersebut ketika mereka menjalankan bisnisnya dengan mengandalkan kecanggihan teknologi.
Dengan memanfaatkan teknologi, pelaku usaha bisa berpromosi gratis dan menjalankan usaha melalui akun media sosial seperti instagram, facebook dan aplikasi lainnya.
Sebelumnya, lanjut dia, sektor informal kerap dicap sebagai sektor yang kecil dan di luar dari sistem.
Namun, kini seiring kecanggihan teknologi sektor informal tersebut bukan lagi sektor kecil dan jauh dari skala ekonomi, melainkan berpeluang tumbuh karena biaya operasional tidak besar.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan pihaknya memiliki sistem untuk mendeteksi pelaku usaha digital tersebut sehingga penerimaan negara dari pajak bisa digenjot.
Kehadiran sektor informal itu, kata dia, menjadi fenomena tersendiri untuk cepat direspon di tengah upaya pemerintah menggenjot pajak dari sektor formal seperti perusahaan besar berbasis digital.
Selain perusahaan digital berskala besar, peluang penerimaan pajak juga bisa ditingkatkan dari perusahaan jual beli berbasis aplikasi yang kini banyak bermunculan di Indonesia.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam kesempatan terpisah sebelumnya menyebut transaksi digital juga berkontribusi besar dalam penerimaan pajak.
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan dalam Ngobras beberapa waktu lalu menyebutkan salah satu jenis konsumsi yakni belanja jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri melalui wadah digital di Indonesia estimasinya mencapai Rp93 triliun tahun 2018.
Apalagi, lanjut dia, berdasarkan studi dari Temasek dan Google, tahun 2025 konsumsi jasa dan barang tak berwujud di Indonesia diperkirakan melonjak mencapai Rp277 triliun dengan potensi PPN mencapai Rp27 triliun.
Dengan adanya revisi undang-undang salah satunya UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), ujar dia, negara akan mendapatkan pemasukan yang besar khususnya yang dikontribusikan dari konsumsi jasa digital.(ant/hyt)