CIANJUR – Debit permukaan air di sejumlah jaringan irigasi di Kabupaten Cianjur dilaporkan mulai menyusut. Namun tingkat penyusutannya belum terlalu signifikan lantaran terkadang masih turun hujan meskipun intensitasnya rendah.
“Laporan penyusutan debit air di jaringan-jaringan irigasi sudah mulai kami terima. Setiap minggu rutin ada yang melaporkan,” kata Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Cianjur, Wiguno Prihantono, Rabu (18/6).
Daerah Irigasi yang dikelola Pemkab Cianjur terbagi ke dalam tujuh wilayah. Daerah Irigasi Balai Wilayah I Cianjur Kota terdapat 16 titik dan tiga di antaranya dikelola Pemprov Jabar. Balai Wilayah II Cibeber terdapat 19 titik dan dua di antaranya dikelola Pemprov Jabar.
Balai Wilayah III Ciranjang terdapat 1 titik, Balai Wilayah IV Cikalong terdapat 12 titik, Balai Wilayah V Sukanagara terdapat 4 titik, Balai Wilayah VI Pagelaran terdapat 8 titik, dan Balai Wilayah VII Cidaun terdapat 4 titik.
Wiguno mengaku mulai berkurangnya debit air di jaringan-jaringan irigasi mulai dibarengi dengan upaya pengaturan agar pasokan ke setiap lahan persawahan masih bisa dilakukan. “Pasti kami lakukan pengaturan. Misalnya per blok atau sistem gilir giring. Kami sesuaikan dengan volume debit air yang ada,” ujarnya.
Pola pengaturan air itu bekerja sama dengan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Mitra Cai serta dengan pemerintahan desa. Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Cianjur mengelola sekitar 161 irigasi teknis dan irigasi sederhana.
“Kebanyakan itu irigasi desa. Kalau irigasi teknis relatif sedikit,” jelas Wiguno.
Wiguno memperkirakan puncak kemarau tahun ini sekitar Juli atau Agustus. Kondisinya tak jauh berbeda dengan tahun lalu. “Kalau sekarang belum terlalu disebut kemarau. Prediksi sih Agustus merupakan puncak kemarau. Dari laporan di lapangan masih ada yang tanam,” tutur dia.
Dinas PUPR selalu bareng-bareng berkoordinasi dengan Dinas Pertanian, Pangan, Perkebunan, dan Holtikultura Kabupaten Cianjur memantau kondisi di lapangan. Koordinasi dinilai cukup penting karena untuk mengetahui kondisi lahan sawah yang mengalami puso, kekeringan, hingga lahan sawah yang tak bisa ditanami.