MENGGUGAT SISTEM PEMILU SERENTAK

0 Komentar

PEMILIHAN Umum DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (baca:pemilu) telah selesai digelar. Pemilu yang diselenggarakan secara serentak antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden ini memang pertama kali digelar setelah pada pemilu tahun 2004, 2009 dan tahun 2014 diselenggarakan secara terpisah antara pemilihan legislatif dan pemilihan eksekutif (presiden/wakil presiden).
Penyelenggaran pemilu serentak (simultaneously election) didasari oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 14/PUU-XI/2013, yang pada pokoknya mahkamah mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 3 ayat (5) (pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) (pengumumam calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik), Pasal 14 ayat (2) (masa pendaftara calon presiden dan wakil presiden), dan Pasal 112 (pemungutan suara presiden paling lama 3 bulan setelah pemilu legislatif) Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan dinyatakan inkonstitusional.
Putusan MK a quo berimplikasi pada perubahan sistem pemilu di Indonesia, yang asalnya pemilu menganut separation election system berubah menjadi simultaneously election system atau pemilu diselenggarakan secara bersamaan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden.
Bermasalah
Pelbagai fakta empirik menunjukan bahwa sistem pemilu serentak 2019 sesungguhnya menyisakan beberapa permasalahan. Pertama, pemisahan pemilu legislatif dengan pemilu presiden/wakil presiden memang pada dasarnya tidaklah sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa : “pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Dengan adanya frasa “setiap lima tahun sekali”, sementara penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden dilaksanakan tidak secara bersamaan tentu mengandung masalah konstitusional serius.
Namun putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013 sesungguhnya masih menyisakan residu dan problem ketatanegaraan, salah satunya mahkamah masih mempertahankan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Padahal kehendak awal dengan sistem pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden digelar secara bersamaan, maka ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sudah tidak relevan lagi dterapkan. Tetapi pada faktanya syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tersebut, masih tetap diadopsi dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

0 Komentar