CIANJUR, cianjurekspres.net – Minimnya produksi dan rendahnya kualitas kedelai lokal, memaksa pengrajin tahu tempe di Kabupaten Cianjur menggunakan kedelai impor. Kondisi ini sudah berlangsung lama, akibat hasil produksi kedelai lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Industri tahu tempe di wilayah Cianjur, hingga kini masih bergantung pada pasokan kedelai impor yang harganya fluktuatif tergantuung kurs mata uang rupiah terhadap dollar Amerika. Mereka pun tak mampu berbuat banyak jika harga kedelai impor melambung.
Tingginya kebutuhan akan kedelai impor dirasakan oleh Oni Saproni, 60, pengusaha grosir asal Ciranjang, ia mengatakan, kebutuhan kedelai untuk wilayah Kabupaten Cianjur saat ini masih tinggi, dimana usaha penjualan kedelai miliknya ini bisa menjual sebanyak 7 ton per harinya.
“Dalam satu hari saya bisa menjual sebanyak 7 ton kedelai impor, dan biasanya menyuplai langsung ke pengolahan tahu dan tempe di Cianjur,” kata Oni Saproni kepada Cianjur Ekspres, Senin (6/8).
Oni mengatakan, harga kacang kedelai saat ini terus mengalami peningkatan sejak empat hari terakhir. Dimana kedelai asal Amerika ini dijual dengan harga Rp 7.600 per kilo gramnya. “Sebenarnya sudah empat hari ini mengalami kenaikan,” kata Oni.
Diungkapkan Oni, pasokan kacang kedelai impor itu berasal dari Amerika Serikat. Menurutnya, semua kebutuhan kedelai bagi pengrajin tahu tempe khususnya untuk wilayah Kabupaten Cianjur semuanya berasal dari negara adidaya tersebut.
“Saya memang memasok kebutuhan kedelai untuk wilayah Kabupaten Cianjur, akan tetapi kadang-kadang dari luar Cianjur juga ada, seperti Ciamis, Bandung dan Sukabumi,” terang Oni.
Menurut Oni, kacang kedelai lokal asli Cianjur saat ini terbilang sulit. Kalau dihitung secara persentase di Kabupaten Cianjur hanya 10 persen saja, dan selebihnya dapat impor dari negara luar.
“Ironis memang, apa yang di gadang-gadangkan oleh pemerintahan dengan program tanam Padi Jagung dan Kedelai (Pajale), tapi kenyataannya berbeda,” katanya.
Terjadinya kelangkaan kacang kedelai tersebut tidak bisa sepenuhnya menyalahkan petani lokal. Akan tetapi justru harus lebih efektifnya para pendamping atau penyuluhan dari dinas pertanian atau kementrian pertanian itu sendiri yang harus kreatif.