Angka putus sekolah di satu kedusunan, terutama di Kampung Pasirtarisi, Desa Malati, Kecamatan Naringgul, sangat tinggi. Bukan hanya akses menuju SD yang sulit dan jauh, tapi untuk melanjutkan ke jenjang SMP lebih dari kata sulit. Jarak tempuhnya hingga 10 kilometer, nyaris tidak ada jasa angkutan.
REDDY MUHAMMAD DAUD, Naringgul
ANAK-anak lulusan SD di Kampung Pasirtarisi banyak yang enggan meneruskan pendidikannya ke jenjang SMP. Bahkan ada juga yang tak lulus SD lantaran terkendala biaya dan jarak tempuh.
Maklum, mayoritas perekonomian warga di sana hanya bergantung pada pohon aren. Mereka penyadap air nira aren atau lahang untuk bahan baku gula merah, dan hanya sekidit orang saja yang berkebun serta bertani.
Walhasil, penghasilan warga sekitar cukup rendah. Terlihat dari bangunan-bangunan rumah mereka, mayoritas rumah panggung. Pendapatan mereka mungkin hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja, tak mencukupi untuk biaya sekolah dan lainnya.
Di Kampung Pasirtarisi RT 02 sendiri ada 50 unit rumah panggung, berpenghuni sekitar 120 jiwa. Entah bagaimana mulanya, ada pemukiman di titik paling atas Gunung Ujungjaya itu.
Konon, kata Abah Kasman, 84, sesepuh warga Kampung Pasirtarisi, sudah sejak dulu sudah ada pemukiman di wilayahnya ketika ia masih remaja.
“Tapi dulu, kampung ini (Pasirtarisi, red) masih benar-benar hutan. Tidak ada sekolah, tidak ada jalan untuk motor, dan masih dihuni hewan-hewan buas. Mungkin sekarang masih ada,” ungkapnya.
Jangankan pada zaman dulu, ungkap dia, saat ini saja akses pendidikan masih sulit. Anak-anak masih kewalahan menuju sekolah. Pada akhirnya, banyak yang tidak lulus SD dan tidak meneruskan ke SMP, apalagi ke jenjang SMA/SMK.
“Kalau anak perempuan dan sudah cukup umur, ya langsung dinikahkan. Kalau anak-anak remaja lelaki, mereka bertani, berkebun, atau jadi penyadap air nira aren,” bebernya.
Putus sekolah juga hampir dialami Sarmudin, 23. Dia terlambat dua tahun sekolah karena keterbatasan biaya. Namun demikian, Sarmudin merupakan satu di antara puluhan pemuda yang berhasil lulus SMK.
“Ada banyak sekali remaja dan pemuda di sini. Tapi putus sekolah. Hanya saya, dan empat teman saya saja yang lulusan SMA/SMK. Itu pun butuh perjuangan keras. Bekerja dulu mengumpulkan uang, baru sekolah,” tuturnya.