Poin terpenting dalam implementasi Inpres Nomor 1 Tahun 2025 ini, kata Fahmi, adalah seberapa besar pemerintah, utamanya pemerintah daerah baik di provinsi atau kabupaten/kota, bisa mengefisienkan anggaran belanja.
Khusus untuk klausul mengurangi belanja perjalan dinas sebesar 50 persen dalam Inpres tersebut, lanjutnya, tidak akan menimbulkan konsekuensi yang signifikan.
“Karena bentuknya Inpres, tentu tidak ada konsekuensi langsung jika tidak diterapkan. Berbeda dengan undang-undang yang mencantumkan konsekuensi jika tidak dilakukan,” ungkapnya.
Baca Juga:6 Siswa SDN Sukasari Campaka Terluka Akibat Pohon Tumbang Menimpa KelasSidang Perkara PHPU di MKRI, 01 Optimis Lanjut – 02 Yakin Ditolak
Secara teknis, belum ada peraturan turunan dari Kemenkeu RI yang memberikan petunjuk teknis (juknis) mengenai apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk implementasi Inpres Nomor 1 Tahun 2025.
Pasalnya, penyesuaian anggaran belanja daerah harus dilakukan dengan baik dan melalui mekanisme birokrasi di Indonesia yang sudah ditetapkan antara eksekutif dan legislatif, yang memang cukup panjang.
“Ada surat S-37/MK.02/2025 dari Kemenkeu RI, tapi itu untuk setingkat menteri dan lembaga negara. Sedangkan untuk pemerintah daerah baik itu provinsi dan kabupaten/kota belum ada meskipun tenggat waktunya telah ditentukan. Itu juga jadi kerepotan dan kerumitan lainnya,” beber Fahmi.
Selain penghematan anggaran, manfaat adanya Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi APBN dan APBD lainnya adalah perbaikan citra pejabat pemerintah di Indonesia yang selama ini dinilai hedon.
“Selain birokrasi bisa melakukan penghematan besar-besaran, citra (pemerintah) yang membaik di mata publik mungkin akan terjadi sebagai konsekuensi jangka pendek. Saat ini juga banyak pejabat publik yang memiliki akun media sosial, mempromosikan dan mempublikasi upaya pemerintah untuk berhemat,” kata Fahmi.