“Suasananya jadi seperti ini, sunyi mau siang apalagi malam. Hanya ada tenda-tenda kecil yang dibangun petani untuk tempat rehat. Ada beberapa rumah yang masih berdiri, tapi sudah ditinggal pemiliknya,” jelasnya.
Misbah sendiri kini harus pulang pergi dari BSD ke Kampungrawacina. Mata pencaharian sebagai petani di sana, sudah dia jalani sejak masih duduk di bangku SD.
“Saya sudah bertani sejak SD, karena orangtua saya petani. Saya juga punya petak sawah pribadi, jadi ini saya lakukan tiap hari,” ujar Misbah.
Baca Juga:Indonesia Promosikan Desain Paspor Merah Putih di Simposium ICAOGempa Guncang Cianjur, Getarannya Terasa di Kecamatan Cibeber Disertai Suara Gemuruh
Rp10 ribu per hari harus dia keluarkan untuk ongkos antar jemput khusus bagi warga BSD ke Kampung Rawacina. Begitu juga dengan kurang lebih 20 warga lainnya.
“Kadang juga saya tidur di pondok pesantren tak jauh dari sini, untuk berhemat. Pemasukan tambahan juga saya cari dengan menawarkan jasa angkut gabah ke petani lain di sini,” Misbah menerangkan.
Sudah 2 tahun kehilangan kampung halaman karena bencana, namun harapan Misbah untuk bisa tinggal lagi di Rawacina belum pudar.
“Saya masih berharap warga diperbolehkan lagi tinggal di sini. Tapi kalau tidak boleh, ya tidak apa. Ini kampung saya,” harapnya.
Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cianjur, Asep Kusmanawijaya menerangkan, meskipun tidak boleh ditinggali, namun lahan yang ada di Kampung Rawacina tetap menjadi milik warga.
Pemerintah hanya melarang adanya pembangunan rumah tinggal di zona merah yang ditetapkan BMKG, begitu juga dengan 9 kilometer area lain yang berada tepat di atas Sesar Cugenang.
“Akses listrik dan air pun akan diputus. Untuk menghindari adanya warga yang berniat membangun rumah. Itu berbahaya,” kata Asep saat ditemui di kantornya.
Baca Juga:Di Electricity Connect 2024, PLN Galang Kolaborasi Global Wujudkan Transisi Energi di IndonesiaKadin Cianjur Sebut Wacana Kenaikan PPN 12 Persen Kabar Buruk Bagi Dunia Usaha
Pemerintah kabupaten Cianjur melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pertanian, berencana menjadikan lahan penuh puing itu sebagai perkebunan.
“Tapi pohonya pohon keras, seperti jambu, mangga dan lainnya. Itu untuk antisipasi potensi pergeseran lahan di sana,” ujarnya.(zan)