Terkuak, Ini Alasan Kurangnya Upaya Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana di Cianjur

Simulasi bencana
Sejumlah Relawan Tangguh Bencana (Retana) mengikuti simulasi penanganan bencana (PB) tsunami yang diadakan BPBD Kabupaten Cianjur di desa-desa pesisir Cianjur Selatan, beberapa bulan lalu.
0 Komentar

“Destana itu harusnya disampaikan langsung ke masyarakat. Tapi saat kita sosialisasi kebencanaan dengan pembentukan Destana, yang hadir justru perangkat desa lagi atau orang-orang yang mudah untuk dihadirkan, terlihat tidak mau repot. Akhirnya masyarakat tak menerima ilmu pencegahan dan kesiapsiagaan. Padahal kalau terjadi bencana, mereka lah yang akan lebih direpotkan,” jelasnya.

Dengan memanfaatkan anggaran yang minim ini pihaknya berupaya untuk membuat lebih banyak masyarakat memahami soal kebencaan. Agar masyarakat sedikit banyak paham soal tata cara penyelamatan diri secara mandiri.

Hingga saat ini pun belum ada satu teknologi yang bisa memprediksi secara tepat kapan dan di mana bencana akan terjadi.

Baca Juga:Tidak Ada Alat Elektronik yang Rusak saat Atap Laboratorium SMPN 3 Tanggeung AmbrukInvestigasi Disdikpora di SMPN 3 Tanggeung: Rangka Atap Diduga Tak Sesuai Spesifikasi

“Maka saat terjadi bencana yang sering kali datang secara tiba-tiba dan dalam tempo yang cepat, kita sendiri lah yang bisa menyelamatkan diri sendiri. Tidak bisa kita bergantung pada aparat karena pasti butuh waktu menjangkau lokasi kejadian bencana,” ungkap Taufik.

Dia juga menyayangkan beberapa pihak yang menomorduakan PK. Pasalnya sejak 26 April 2007, saat pemerintah mengesahkan UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (PB). Harusnya menjadi titik balik berubahnya pola pikir penanganan bencana, dari yang awalnya resposif atau menangani menjadi preventif atau pencegahan atau yang kerap disebut mitigasi.

“Maka sejak saat itu Pencegahan dan Kesiapsiagaan (PK) yang jadi prioritas. Artinya upaya sosialisasi, edukasi peningkatan kapasitas, juga simulasi harus diutamakan. Hasil dari itu semua tidak berwujud karena bentuknya adalah kemampuan dan kesiapan masyarakat untuk menghadapi bencana,” ungkapnya.

Dia menilai, beberapa pihak justru masih mempertahankan pola pikir lama dengan mengenyampingkan preventif dan mendahulukan upaya-upaya responsif dalam wujud pembangunan fisik seperti pembuatan tembok penahan tanah (TPT).

“Sehingga sosialisasi, peningkatan kapasitas, dan simulasi terkesan tidak terlalu penting dan tidak diperhatikan,” tandasnya.

0 Komentar