Jokowi, SBY, Megawati dan Pemimpin Nasional akan Kawal Pemerintahan Presiden Prabowo 

Bambang Widjanarko Setio
Direktur Eksekutif Pranata Kebijakan Politik Nasional (PKPN) Bambang Widjanarko Setio.(istimewa)
0 Komentar

Sejak tahun 2023, La Nyalla Mataliti menegaskan inisiatif ini dengan alasan hilangnya marwah bangsa Indonesia sejak amandemen tahun 1999-2002, serta pemilihan presiden secara langsung tidak cocok untuk bangsa Indonesia.

Menurut Bambang, upaya menghidupkan kembali DPA justru semakin lantang digaungkan. DPA direvitalisasi kembali dengan mengubah Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi DPA melalui revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres. Dukungan untuk menghidupkan kembali DPA ini terinspirasi oleh keinginan untuk membuat presidential club seperti di Amerika Serikat.

Bambang menambahkan bahwa menghidupkan kembali sistem-sistem ini menimbulkan pertanyaan tentang perjalanan sejarah dan hukum tata negara yang melandasi berbagai perubahan ini. Beberapa kritik menyoroti kurangnya urgensi untuk wacana ini dilakukan, dan cederanya sistem yang akan terjadi jika wacana-wacana ini kembali dihidupkan.

Baca Juga:Kunjungi SMPN 2 Cianjur, Ini Kesan Pelajar SMP Yachimata JepangPimpin Upacara Hari Lahir Pancasila di Lapangan Garuda Pertamina Hulu Rokan, Jokowi Kenakan Pakaian Melayu

“Amandemen konstitusi adalah langkah yang wajar untuk menghadapi terpaan perubahan zaman. Akan tetapi. amandemen yang tidak mengedepankan rasionalitas tata negara yang baik, urgensi yang berlandaskan kepentingan publik, justru akan menghilangkan kemajuan sistem pemerintahan,” kata Bambang. 

Pengembalian sistem pemilu menjadi pemilihan tertutup oleh MPR, dengan alasan ketidaksiapan Indonesia dalam melaksanakan pemilihan langsung serta menjauhnya Indonesia dari Pancasila, seperti jauh panggang dari api. 

“Pemilihan langsung justru merupakan manifestasi dari demokrasi di mana rakyat secara langsung berdaulat untuk memilih pemimpinnya dan salah satu hasil perjuangan Reformasi,” kata Bambang. 

Sebaliknya, menurut Bambang, jika MPR sebagai representasi rakyat diberikan mandat kembali untuk memilih pemimpinnya memiliki risiko kembali kepada kepentingan politik yang tidak selaras dengan kepentingan rakyat, seperti yang terlihat dalam sejarah.

“Jika ada masalah dalam sistem demokrasi, yang perlu diperbaiki adalah mekanisme teknis pemilu dan reformasi pola pikir para aktor yang terlibat, termasuk partai politik dan rakyat itu sendiri secara komprehensif,” tandas Bambang. 

Di sisi lain, menurut Bambang, jika kemudian Joko Widodo, dan mantan Presiden Republik Indonesia masuk dalam struktur DPA, tentu saja tidak menjadi problem, dengan tetap in the track sesuai dengan tata kelola kenegaraan. 

0 Komentar