CIANJUR.JABAREKSPRES.COM,CIANJUR – Kembali ramainya fenomena kawin kontrak di Kota Santri membuat beberapa kalangan angkat bicara. Salah satunya Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perkumpulan Pengacara Peduli Perempuan, Anak dan Keluarga (P4AK), Lidya Indayani Umar.
Kata Lidya, kawin kontrak kini hanyalah sebuah istilah lain yang digunakan para mucikari penjaja wanita seks komersial (PSK) juga pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau human trafficking.
“Kalau dalam Islam itu biasa disebut dengan mut’ah, kalau dalam bahasa undang-undang human trafficking itu namanya pengantin pesanan. Ini sebenarnya secara hukum dan secara agama itu tidak diatur dengan signifikan. Dan ini menjadi modus untuk perdagangan orang,” kata Lidya saat dikonfirmasi, Kamis 18 April 2024.
Baca Juga:Halal Bihalal Provinsi Jabar, Bey Machmudin: Jaga dan Perkuat Nilai-Nilai Kearifan Lokal Arus Balik Pakai Kendaraan Listrik Tidak Perlu Ragu, Petugas Siap Membantu
Dia menyebut jika human trafficking dengan modus kawin kontrak adalah sebuah praktik yang terorganisir dan bisa terjadi di mana saja. Meskipun pelaku inteleknya tidak pernah terungkap, jaringannya terus bekerja.
Kasus kawin kontrak pun sempat hilang khususnya pada masa pandemi beberapa tahun silam sehingga wisatawan dari Timur Tengah pun tidak bisa datang. Namun kini terungkap lagi di 2024 saat turis sudah bisa melakukan perjalanan wisata.
“Jadi mungkin kemarin kawin kontrak ini tidak tercium karena pandemi selama beberapa tahun lalu. Di Cianjur, terkahir itu kasusnya terungkap pada 2019. Karena terbongkar mereka ‘istirahat’ dulu apalagi saat pandemi. Saat masa pembatasan usai, para mafia ini kembali bekerja,” beber Lidya.
Dari pengamatannya, di Cianjur ada tiga kecamatan yang rawan terjadi TPPO berkedok kawin kontrak seperti Cipanas, Pacet dan Sukaresmi. Dimana lokasi tersebut dipenuhi oleh villa-villa dan tempat wisata yang digemari bangsa Arab.
“Villa yang mereka (mafia human trafficking) pakai tersebar di tiga kecamatan itu,” ungkap Lidya yang juga merupakan Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Cianjur.
Pada Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO yang mengancam para mafia human trafficking dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar, dinilai sudah cukup menjerat.