CIANJUR,CIANJUREKSPRES.NET – Komisi D DPRD Kabupaten Cianjur, mempertanyakan implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 5 Tahun 2021 tentang Kabupaten Layak Anak seiring masih terjadinya kasus kekerasan terhadap anak di Cianjur.
Bahkan berdasarkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Cianjur dan Harian Perkumpulan Pengacara Peduli Perempuan, Anak dan Keluarga (P4AK) Cianjur, mencatat selama delapan bulan terakhir ada 38 kasus kekerasan yang korbannya merupakan anak-anak dan perempuan.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Komisi D Kabupaten Cianjur Atep Hermawan Permana kembali menanyakan sejauhmana implementasi perda tentang kabupaten cianjur layak anak tersebut.
“Justru itu implementasi perda berlakunya harus mulai dari kapan, itu yang kami pertanyakan kepada pemerintah,” katanya kepada Cianjur Ekspres, Selasa (30/8).
Baca Juga:Elpiji DMEJadwal Pelayanan SIM Keliling Polres Cianjur Hari Ini, Rabu 31 Agustus 2022
Termasuk jelas Atep, apakah tahapan sosialisasi perda tersebut hanya satu tahun, lalu di tahun berikutnya berjalan?.
“Jangan sampai jargon Cianjur kabupaten layak anak, tapi implementasi perdanya tidak ada,” katanya.
Dirinya mengungkapkan, informasi terakhir yang diterima dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa Cianjur masuk level pratama untuk kabupaten layak anak dan akhir tahun ini punya target naik ke level madya.
“Tetapi implementasi terkait perda kabupaten layak anak, sampai hari ini Komisi D belum mendengar. Implementasi perdanya kapan akan diterapkan,” tuturnya.
Terpisah, Psikolog asal Cianjur, Sri Tedjaningsih, mengungkapkan, terdapat delapan faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan.
“Diantaranya faktor ekonomi, media sosial di era digital, pernikahan usia dini, kepribadian dan kondisi psikologis yang tidak stabil,” kata dia kepada wartawan, Selasa (30/8).
Selain itu, jelasnya, budaya patriarki dimana laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat dan pola asuh yang kurang tepat membuat individu tidak telatih untuk menemukan problem solving atau kemampuan menemukan masalah dan memecahkannya dengan baik.