Berdasarkan hasil survei OJK pada 2019, indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan mengalami kenaikan dibandingkan hasil survei pada 2016. Indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan masing-masing mencapai 38,03 persen dan 76,19 persen, meningkat dibandingkan 2016 yang mencapai 29,7 persen dan 67,8 persen.
Eko menuturkan literasi dan inklusi antarsektor jasa keuangan saat ini masih timpang. Untuk literasi keuangan, sebagian besar masih didominasi perbankan sebesar 36,12 persen, sedangkan untuk pasar modal hanya 4,92 persen. Begitu pula dari sisi inklusi keuangannya, untuk perbankan mencapai 73,88 persen sedangkan pasar modal hanya 1,55 persen.
“Perbedaan ini saya rasa jadi gambaran orang lebih akrab dengan perbankan dibandingkan pasar modal. Ke depan, kita mau dorong idealnya masing-masing ini angkanya sama-sama tinggi. Kita perlu lakukan upaya bagaimana literasi keuangan ke depan tidak hanya tentang perbankan tapi juga asuransi , pasar modal, dan sektor-sektor yang lain atau entitas industri lain seperti pegadaian, pembiayaan, dan lainnya. Saya rasa strategi per sektor perlu dikembangkan,” kata Eko.
Selain itu, ia berharap ada strategi untuk meningkatkan inklusi keuangan berdasarkan regional. Upaya peningkatan inklusi keuangan bisa lebih difokuskan kepada provinsi-provinsi yang indeks inklusi keuangannya masih di bawah 75 persen, tidak lagi pada provinsi-provinsi seperti DKI Jakarta misalnya yang sudah mencapai 95 persen.
Untuk indeks inklusi keuangan sendiri, meski saat ini sudah menunjukkan kemajuan hingga mencapai 76 persen, angka tersebut masih kalah dibandingkan negara tetangga seperti Thailand 82 persen dan Malaysia 85 persen. Menurut Eko, Indonesia setidaknya harus punya target, misalnya minimal tidak kalah dari Malaysia.
“Kenapa ini penting? Karena kita lihat ini nanti berkaitan dengan support sektor keuangan kepada pertumbuhan ekonomi. Misalnya rasio kredit terhadap GDP ini masih jauh sekali. Indonesia mungkin masih di bawah 40 persen, sekitar 37 persen, sementara Malaysia itu sudah 120 persen, jadi lebih tinggi kredit yang mengalir dibandingkan GDP-nya. Atau Thailand tadi yang inklusinya 82 persen, ternyata kredit terhadap GDP mereka sudah sampai 140 persen. Vietnam sekarang juga sudah di atas 100 persen,” ujar Eko.(ant/nik)