Cianjurekspres.net – Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil mengatakan, hasil studi Goldman Sachs menunjukkan bahwa pemakaian masker efektif mencegah penularan COVID-19 dan setara dengan kebijakan lockdown atau karantina wilayah.
Jika kebijakan lockdown diterapkan, perekonomian akan lumpuh. Berbeda apabila masyarakat disiplin pakai masker. Kegiatan ekonomi dan penanganan COVID-19 dapat berjalan beriringan.
Akan tetapi, kata Kang Emil sapaan Ridwan Kamil, kedisplinan masyarakat Jabar pakai masker hanya 50 persen. Maka itu, Peraturan Gubernur (Pergub) terhadap pelanggaran AKB yang di dalamnya juga mengatur sanksi protokol kesehatan ditetapkan. Tujuannya meningkatkan kedisiplinan masyarakat terapkan protokol kesehatan.
“Karena hasil surveinya yang memakai masker di Jawa Barat itu hanya 50 persen, maka minggu ini kami sudah mulai melakukan sanksi (untuk yang tidak memakai masker),” kata Kang Emil di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Selasa (28/7/20).
Baca Juga: Zona Hijau, Sekolah di 257 Kecamatan se Jabar Bisa Gelar Pembelajaran Tatap Muka
“Bukan untuk mencari uang, tapi semata-mata agar ekonomi bisa bergerak, pendidikan bisa dimulai, tapi kewaspadaan terhadap COVID-19 bisa kita kendalikan,” imbuhnya.
Sebelum Pergub ditetapkan, Pemerintah Provinsi Jabar intens menyosialisasikannya lewat berbagai platform. Selain itu, penyediaan masker dilakukan. Salah satunya memasukkan masker dalam bantuan sosial (bansos) tahap II. Penyediaan masker untuk masyarakat juga dilakukan dengan membeli 10 juta masker produk UMKM.
“Pada dasarnya saya enggak suka menghukum. Tapi, di situasi ini angka penyakitnya berhubungan dengan kedisiplinan,” ucap Kang Emil.
“Maka, kami melakukan tiga level instrumen, dua bulan pertama kita edukasi di April-Mei, bulan Juni-Juli kita melakukan surat teguran dan surat tilang. Kemudian setelah edukasi dan surat teguran ternyata masih 50-an persen, kami coba (dengan sanksi),” tambahnya.
Kang Emil mengatakan, sanksi diterapkan secara bertahap, yakni sanksi ringan, sedang, dan berat. Sanksi terberat berupa denda. Sebagai bentuk transparansi, kata ia, proses pembayaran denda dilakukan melalui aplikasi supaya masyarakat dapat melihat jumlah pelanggar dan denda. Data tersebut akan diperbarui setiap hari.
“Di dalam denda itu ada diskresi hukuman sosial. Jadi, saya minta aparat lihat kalau dia lupa (memakai masker) karena betul-betul lupa oleh tanya jawabnya terlihat jujur, mungkin diskresinya hukuman sosial. Tapi kalau orangnya memang terlihat malas, tidak disiplin, maka denda itu sebagai shock therapy saja,” katanya.