Program Nasi Kotak Covid-19 Pemkab Cianjur Tuai Kritikan

Nasi Kotak BHS Dinilai Menyimpang
Plt Bupati Cianjur Herman Suherman tampaks edang menyiapkan nasi kotak yang akan dibagikan secara gratis ke warga Cianjur.(foto/ist)
0 Komentar

Cianjurekspres.net – Bentuk perhatian Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam menangani Covid-19 dengan cara membagikan ribuan nasi boks yang disebar secara serentak di setiap kecamatan se-Kabupaten Cianjur berujung kritikan pedas.
Kritikan yang ditujukan ke Pemkab Cianjur datang dari berbagai kalangan aktivis. Di antaranya Direktur Poslogis (Politic Social and Local Goverment Studies) Asto Nanggala. Dia mengatakan, jika dirinya melihat dari sisi urgensitas di tengah pandemi Covid-19.
Menurutnya, ada skala prioritas pengeluaran APBD. Hal tersebut tentunya berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2020 tentang pencegahan penyebaran dan percepatan penanganan Covid-19 di Lingkugan Pemkab.
“Di dalamnya mengatur, juga tentang pengutamaan penggunaan alokasi anggaran kegiatan tertentu (refocusing) yang pada intinya mengutamakan pada tiga skala prioritas. Yaitu Kesehatan, penanganan dampak ekonomi, dan penyediaan jaring pengaman sosial,” kata Asto, saat dihubungi melalui telepon, belum lama ini.
Asto mengatakan, jika dirinya terus berkomentar di media sosial agar Pemkab Cianjur ini lebih mendahulukan Rapid Tes bagi ODP. Terutama bagi mereka yang baru pulang dari zona merah, baik di Jabar maupun DKI.
“Saya pikir itu masuk pada skala prioritas refocusing anggaran dan menyangkut pencegahan Covid-19,” katanya.
Menurutnya, kaitan dengan nasi boks itu bukan skala prioritas. Yang jadi skala prioritas ketahanan pangan menurut Instruksi Mendagri itu kecukupan sembako di wilayahnya. “Jadi, bukan dengan cara membagikan nasi kotak,” ujarnya.
Dikatakan Asto, anggaran yang disiapkan Pemkab Cianjur untuk penanganan Covid-19 ini sebesar Rp100 miliar. Artinya, kalau misalkan harga nasi boks tersebut dihargai Rp25 ribu per kotak, dengan masing-masing 1.000 nasi kotak di kalikan 32 kecamatan jika dikalikan Rp20 ribu saja sudah Rp640 juta per hari.
“Kurang menurut saya, kurang tepat. Karena skala prioritasnya bukan itu, kalau bicara mengenai ketahanan pangan,” katanya.
Selain itu, lanjut Asto, nilai politisnya sangat jelas terlihat. Walau sebagian kalangan menganggap wajar, tetapi dari sisi etika sepertinya kurang etis. “Itu kan uang rakyat, di makan oleh rakyat, tapi kenapa ada foto personal? Pakaiannya saja pakaian personal, tidak ada identitas diri sebagai kepala daerah. Baju putih polos,” ucapnya.

0 Komentar