Bagaimana memahami gerak pencitraan politisi di ruang publik?
Hal utama yang wajib diketahui masyarakat terlebih dahulu adalah ketika seseorang terjun di dunia politik, integritas dan kapabilitas tidak cukup. Dia perlu melakukan segala macam cara agar mampu menarik hati masyarakat. Dalam prosesnya, tidak semua orang mampu mengenalkan dirinya kepada publik dengan kesan yang menarik. Di situlah pencitraan merupakan kebutuhan berpolitik yang tidak bisa dihindari.
Sebagai kebutuhan, pencitraan akan hadir dalam bentuk apa saja di ruang publik. Dalam situasi tersebut, pertanyaan refleksi bagi kita adalah mau menjadi korban pencitraan atau melawan balik agar kita benar-benar menuai pemimpin dengan kualitas cukup baik.
Cara melawan balik teramat sederhana yang paling mungkin bisa kita lakukan adalah memahami arti pencitraan itu sendiri. Sebenarnya, pencitraan lebih berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan untuk membentuk citra seseorang sesuai keinginan atau harapan publik guna mendapatkan simpati. Kadang usaha itu dilakukan juga untuk menutupi sesuatu yang buruk.
Mudahnya, pencitraan adalah ’’pembungkusan diri’’ dengan gambaran yang disukai oleh publik walaupun apa yang diberikan sebagai value atau nilai kadang tidak jelas atau bahkan cenderung ’’kosong”. Oleh karena itu, pencitraan sering dikonotasikan sebagai sebuah upaya sesaat yang tidak berkesinambungan dan tidak akan pernah ada follow up-nya lagi.
Contohnya, bila keinginan publik adalah melihat sosok yang baik, santun, mengutamakan kepentingan orang banyak, semua kegiatan orang yang dicitrakan itu dirancang dan dijalankan secara seksama, menggunakan beragam medium komunikasi agar cocok dengan citra tersebut. Tiba-tiba mengunjungi pasar, tiba-tiba memberikan bantuan di rumah yatim, memotret diri sedang memberikan sedekah dan berbagai macam hal lain yang tidak lazim dia lakukan sebelumnya. Biasanya kegiatan pencitraan itu hanya berlangsung sesaat. Sebab, tujuannya memang mengubah persepsi orang.
Untuk menghindari metode pencitraan seperti itu, penulis masih percaya bahwa masyarakat kita sudah cukup bisa membedakan mana yang masuk kategori pencitraan dan mana yang bukan karena terlalu sering dipertontonkan di ruang publik kita selama ini. Penulis ingin kita mencoba lebih jeli lagi melihat figur dan rekam jejak calon pemimpin kita pada masa yang akan datang, terutama menjelang pilkada serentak 2020.