CIANJUR – DPR RI didesak untuk tidak terburu-buru dalam membahas beberapa Undang-undang, terlebih Rancangan Undang-Undang KUHP dimana di dalamnya terdapat beberapa pasal yang menjadi kontroversial.
Pakar Hukum Tata Negara, Dedi Mulyadi, mengatakan, dalam RUU KUHP tersebut memang terdapat beberapa pasal yang dinilai oleh berbagai pihak menjadi perdebatan dan kontroversial, mulai dari persetebuhan, gelandangan, perzinaan, masa hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi, hingga penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Salah satu yang menjadi sorotan banyak pihak ialah kaitan dengan penghinaan terhadap kepala negara. Dimana dari yang semula pasal tersebut masuk dalam delik khusus menjadi delik umum.
“Kalau sebelumnya hanya yang bersangkutan yang melapor untuk bisa diproses, kini menjadi delik umum dimana siapapun yang melaporkan maka bisa diproses hukum,” kata dia, Selasa (24/9/2019).
Menurutnya, gejolak di masyarakat terkait pasal-pasal dalam RUU KUHP tersebut harus menjadi pertimbangan oleh DPR yang saat ini tengah melakukan pembahasan.
Dia pun menyarankan agar DPR tidak tegesa-gesa dalam menetapkan RUU tersebut. Mengingat dampak ke depannya akan sangat besar. Sehingga sudah seharusnya dibahas dalam jangka waktu yang panjang.
“Kalau bersikukuh ditetapkan oleh DPR periode saat ini, maka nantinya aturan tersebut akan terkesan dipaksakan, dan menjadi produk hukum yang tidak matang. Makanya alangkah lebih baik pembahasannya dilanjut oleh periode berikutnya, sehingga akan banyak waktu dalam pembahasan dan menjadi produk hukum yang matang,” kata dia.
Meski nantinya tetap berlanjut, ungkap Dedi, masyarakat memiliki kesempatan untuk mengugurkan pasal yang terdapat dalam RUU tersebut, yakni melalui yudisial riview di Mahkamah Konstitusi.
“Jika dalam proses pembahasannya tetap dilanjutkan, tinggal bagaimana setelahnya. Masih bisa digugurkan di tingkat MK, makanya mesti terus diawasi. meskipun tetap baiknya ditunda untuk dibahas oleh legislatif selanjutnya,” kata dia.(bay/hyt)