“Jadi sejak dua tahun terakhir KLB itu keracunan massal, kalau seperti difteri itu tidak ada. Diare pun sudah 15 tahun terakhir tidak ada KLB,” kata dia.
Agus mengatakan, kasus KLB keracunan di Cianjur kebanyakan diakibatkan oleh bakteri pada makanan. Hal itu dikarenakan makanan yang dihidangkan sudah tertlalulama disimpan atau proses penyiapan bahan hingga pengolahan yang tidak higienis.
Sebagian peristiwa keracunan, terjadi dalam kegiatan syukuran, hajatan atau kegiatan lainnya. Sedangkan beberapa di antaranya dikarenakan makanan yang dijual pedagang keliling, seperti halnya yang terjadi di Sindangbarang.
“Kalau yang diakibatkan zat kimia itu jarang terjadi, kebanyakan dari bakteri pada makanan. Bisa terlihat dari hasil pemeriksaan dan munculnya gejala keracunan pada kjorban yang tidak langsung. Jika zat kimia itu begitu dimakan bisa langsung bereaksi satu jam kemudian, sedangkan bakteri bisa sehari kemudian baru ada reaksi,” kata dia.
Oleh karena itu, lanjut dia, pola hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diterapkan secara optimal untuk mencegah terjadi keracunan makanan. Mulai dari bahan baku harus dipastikan kesegarannya, termasuk dalam pengolahannya pun mesti higienis.
“Mencuci tangan ketika mengolah makanan dan memastikan peralatan higienis pun penting. Selain itu makanan yang dihidangkan jangan terlalu lama didiamkan. Misalnya masak sejak subuh, baru dibagikan pada sore atau malam hari. Itu berisiko munculnya bakteri atau dalam kata lain makanan menjadi basi,” kata dia.
Dia menambahkan, untuk makanan yang dijual pedagang, salah satunya di sekolah dasar bakal menjadi perhatian dari Dinkes. Melalui Puskesmas, para pedagang tersebut akan diperiksa rutin setiap satu sampai tiga bulan, untuk memastikan tidak terkontaminasi bakteri.
“Memang ada yang belum maksimal, tapi dengan kejadian di Sindangbarang yang diakibatkan jajanan yang dijual oleh pedagang keliling kami akan memperketat pemeriksaan jajanan di sekolah-sekolah. Kami harap tidak ada lagi kejadian keracunan massal di Cianjur,” pungkasnya.(bay/red)