CIANJUR – Mak Aan (60) warga RT 01/06 Kampung Haurwangi, Desa Haurwangi, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur nyaris saja kehilangan rumahnya karena dua karung beras yang ia pinjam. Beras tersebut ia pinjam dari rentenir.
Mak Aan tak punya pilihan lain saat itu, karena hanya bekerja sebagai buruh pabrik telur.
Rupanya, beras yang ia pinjam kian lama kian berkembang subur bunganya. Beranak dan berlipat ganda menjadi tak terduga. Beras senilai Rp 400 ribu itu selama 2 tahun telah membengkak menjadi Rp 8,5 juta.
Tak pernah ada kesepakatan tertulis antara Mak Aan dan si juragan peminjam uang. Semua prosesi pinjam meminjam itu dilakukan atas dasar “tahu sama tahu”, sayangnya Mak Aan terlalu polos dan lemah untuk tahu risiko berhutang pada si juragan.
Waktu berjalan Mak Aan yang dinilai tidak mampu lagi membayar hutang dua karung beras yang beranak pinak bersama bunga-bunganya itu harus merelakan sertifikat rumahnya pada si juragan.
Mak Aan bukanlah korban pertama, warga di desa ini sebetulnya sudah paham betul perihal tragedi gusur-menggusur atau sita-menyita karena berhutang pada si juragan. Tapi, mau bagaimana lagi.
Kisah Mak Aan dan maraknya kasus rentenir yang menjerat masyarakat di pedesaan sampai ke telinga Sekolah Relawan. Tim Sedekah Lawan Rentenir yang berfokus pada pendampingan korban renten pun segera melakukan penelusuran langsung ke desa tempat Mak Aan tinggal. Benar saja, bukan hanya Mak Aan korbannya. Sederet nama menjadi korban yang telah berhasil tumbang karena hutang atau malah berada diambang “penyitaan”.
Kasus Mak Aan memang berakhir “bahagia”, setelah tim Sedekah Lawan Rentenir mendampingi mak melakukan negoisasi.
“Dengan proses yang berlangsung alot dan cukup panjang, sang renten bersedia mengembalikan sertifikat rumah Mak Aan dengan catatan Mak Aan tetap membayar sejumlah uang, padahal selama 2 tahun ini Mak Aan selalu membayarkan upah hasil berkuli tani secara rutin,” ujar Wawan Darmawan perwakilan dari Sekolah Relawan.
Menurut Wawan, bukannya tanpa tantangan, upaya Sekolah Relawan untuk mendampingi dan memediasi korban dengan sang rentenir mengalami “perlawanan” dan “kecaman” dari sang rentenir. Segala informasi yang dipublikasikan di sosial media berkaitan dengan kegiatan pendampingan kasus ini dikecam sebagai tindakan pencemaran. Padahal, itu merupakan salah satu upaya edukasi.